Agama Shinto, Restorasi Meiji, dan Indonesia
"Bagaimana Indonesia tetap memegang kebudayaannya yang kaya raya ditengah arus modernisasi, sains dan teknologi?", itulah yang kupikirkan saat mengikuti mata kuliah Agama-agama Dunia yang sedang membahas agama Shinto.
Agama Shinto merupakan agama lokal daerah Jepang yang lahir oleh prakarsa Kaisar mengkonsolidasikan kepercayaan lokal dengan tujuan membendung pengaruh agama impor, terutama agama Buddha yang datang dari China atau biasa dikenal dengan Chinese Budhhisme. Itu terjadi sekitar abad ke-8 Masehi, tergolong baru untuk ukuran suatu agama dibandingkan agama-agama lain yang kebanyakan lahir pada abad sebelum masehi, bahkan Islam pun lahir di abad ke-6 M. Dari sejarah kelahirannya pun nampak jelas bahwa kaitan agama ini dengan politik sangatlah dekat.
Memang dari segi ritual, orang Jepang sebagaimana masyarakat negara lain, sudah punya kebiasaan dan kepercayaan terhadap hal-hal yang spiritual. Mereka menganggap suatu pohon, dan benda-benda lainnya, selain memiliki aspek fisik, juga mempunya aspek spiritual di dalamnya. Itulah yang disebut dengan Kami atau dewa. Kepercayaan Jepang terhadap Kami-sama atau dewa-dewa lah yang memungkinkan konsolidasi dan menyatukan kepercayaan-kepercayaan lokal tersebut. Jadi, dari sisi ritual peribadatan agama Shinto sudah ada sejak lama. Namun dari segi peresmian namanya, baru ada pada abad ke-8. Dan Shinto ini meskipun hanya berasal dari kepercayaan lokal, akan tetapi membawa masyarakat Jepang sampai pada sejarah terbesarnya, yakni Restorasi Meiji pada tahun 1886, yang menandakan bangkitnya Jepang dari segi pendidikan, teknologi dan industri.
Restorasi Meiji membuat Jepang yang sebelumnya menutup diri dari dunia Barat atau Eropa. Mereka mengadopsi pemikiran dan pendidikan ala Eropa, yang pada akhirnya menjadikan mereka setara dengan Eropa. Aku teringat Pram dalam tetralogi Buru-nya menyinggung bagaimana Jepang pada awal abad 19 mendapatkan kesetaraan dengan Eropa dan punya hak istimewa yang tak lagi sama dengan masyarakat pribumi.
Disinilah yang menarik. Jepang yang melakukan modernisasi dan westernisasi, dengan membuka pikirannya pada sains dan teknologi, tapi sama sekali tak lupa dengan akarnya. Mereka tetap dengan agama Shinto yang penuh takhayul dan mitos. Biasanya, untuk mencapai modernisasi sains, hal yang pertama kali diberantas adalah logika mistika -meminjam istilah tan Malaka. Dan Jepang bisa melakukan itu berbarengan dengan kepercayaannya akan takhayul dan hal mistik.
Aku jadi teringat Indonesia dengan Polemik Kebudayaan-nya. Ketika itu, Sutan Takdir Alisjahbana menggagaskan Indonesia harus berkiblat ke Barat, harus melakukan westernisasi. Menurutnya, apa yang dinamakan dengan "Indonesia" itu ya Indonesia yang ada setelah diproklamasikan. Maka Diponegoro itu bukan Indonesia, Candi Borobudur itu bukan Indonesia, dan apapun hal-hal yang ada di Nusantara sebelum proklamasi itu bukan Indonesia. Kebudayaan Indonesia benar-benar baru. Budaya terdahulu dilupakan, takhayul dan mitos kedaerahan diberantas.
Bagaimana ya, Indonesia bisa melakukan modernisasi tapi tidak melupakan budaya terdahulu, aku berpikir begitu. Sangat disayangkan kalau kebudayaan Indonesia yang sebegitu kaya, kisah-kisah mitos daerah yang juga kaya, lalu dihilangkan begitu saja atas nama modernisasi. Rasanya sangat penasaran bagaimana Jepang tidak melupakan akarnya, mengapa Indonesia tak berkaca padanya?
- BERGABUNG
15 Februari 2025